Dewan Adat dalam dua sudut pandang
Dahulu
dalam budaya, dikenal sebutan Tonowi, Raja, Sonowi, Menagawan, mananwir,
ondoafi dan sebutan lainnya, Mereka terseleksi oleh alam karena kehebatan dan
kelebihan mereka, maka individu-individu tertentu disebut Tonowi,dan
sebagainya. Kelompok ini dahulu digunakan oleh pemerintah belanda dan gereja
untuk untuk menyebarkan agama dan membuka pos pemerintahan, dan
kelompok-kelompok ini ada yang diangkat sebagai penasehat pemerintah ada juga
yang diangkat sebagai pemerintah kampung, kini kelompok-kelompok ini ada namun
peranannya mulai tersingkir, sebagian peranannya diambil alih dengan munculnya
organisasi masyarakat modern seperti; DPMA, Dewan Adat serta LMA, munculnya
organisasi ini juga kadangkala menunculkan konflik antara pimpinan adat
tradisional dengan modern, namun jika pimpinan organisasi modern jika dapat
merangkul pimpinan adat tradisional maka, konflik dapat diatasi, namun jika
pimpinan adat modern tidak dapat merangkul maka konflik akan berkepanjangan,
lebih parah lagi jika ditunggangi oleh kepentingan tertentu.
Selama
ini ada stigma bahwa LMA atau DAP pendukung “Gerakan Aspirasi Merdeka“ stigma yang keliru ini dan kesalahan memahami
bahwa LMA atau DAP sebagai lembaga politik, adalah sesuatu yang keliru jika
merujuk kepada Statuta Dewan Adat Papua, hal itu sama sekali tidak diatur yang
ada adalah DAP adalah pejuang Hak Masyarakat atas budaya, SDA, tanah dan hak
hidup, bukan yang lain-lain, stigma ini juga mungkin muncul karena sikab,
statmen petinggi DAP yang selama ini disampaikan dalam berbagai kesempatan, yang
sebenarnya sesuai dengan statuta DAP dan
deklarasi HAM PBB, namun hal deklarasi PBB itu belum diratifikasi oleh
pemerintah NKRI, sehingga menjadi sebuah tantangan bagi Negara. sebagai sebuah
organisasi adat modern DAP/LMA karena ada yang dibentuk oleh masyarakat saat
sedang ramainya aspirasi merdeka seperti DAP sehingga DAP dipandang sebagai
bentukan PDP dan ada juga LMA ada yang
dibentuk difasilitasi oleh Biro Pemerintahan Kampung Setda Prov Papua ada juga
didorong oleh pemerintah, maka sikab saling curiga, egois, angkuh, menang
sendiri selalu mewarnai perjalanan organisasi ini, dan ini jugalah yang selama
ini membingungkan rakyat serta pemerintah salah kaprah dalam menyikapi kedua
organisasi masyarakat adat yang modern ini.
Disatu
sisi, jika pengurus Dewan Adat dekat dengan pemerintah maka kami disebut
alatnya pemerintah, pesuruhnya pemerintah. Ini yang saya maksudkan ada dua
sudut pandang terhadap Dewan Adat.
Kedua
pandangan ini jelas keliru yang benar selama ini tidak pernah ada koordinasi,
komunikasi antara pemerintah dan Dewan Adat untuk membatasi peranan-peran kedua
lembaga. Kewenangan adat dan kewenangan pemerintah tidak perlu campur aduk. Apa
yang menjadi hak dan kewenangan pemerintah kembalikan kepada Pemerintah lalu
apa yang menjadi hak dan kewenangan adat itulah yang diurus oleh Adat. Dewan
Adat sebagai mitra kerja pemerintah untuk membangun masyarakat bukan sebagai
tempat belajar berpolitik. Oleh karena DAP muncul dalam situasi politik papua
saat itu, dimana aspirasi merdeka sedang memanas, karena itu Dewan Adat
mendapat stigma sarana untuk memperjuangkan kemerdekaan ‘M’ padahal Dewan Adat
adalah Emawa, Pilamo, Isorei, Nduni, Aidoram, Tongoi, tempat dimana
membicarakan dan memperjuangkan, bergumul aneka hal dengan masyarakat adat.
Karena itu mestinya Dewan Adat dipahami sebagi rumah, bukan tempat berpolitik
yang menjadi momok bagi pemerintah dan juga perlu dipahami baik juga oleh
pengurus DAP/LMA bukanya hidup dalam sebuah suasana egois, angkuh dan
lain-lain, Adat tidak mengajarkan saling curiga, egois, angkuh dan sombong yang
ada adalah rendah hati, terbuka, hargai, nilai kebenaran, sehingga perlu
dipahami bahwa Dewan Adat berfungsi sebagai Rumah bagi siapa saja mengolah berbagai
persoalan dalam masyarakat Adat. Hal ini
biarlah rakyat yang memberikan penilaian atas lembaga ini, atas dasar pikiran
dan perasaannya, sehingga perlu ruang dan waktu akan menemukan jawaban murni
atas persoalan ini.
Dewan Adat bukan lembaga pelaksana CSR
Dalam
menjalankan tugas sebagai dewan adat, kadangkala ada pandangan dari masyarakat
bahwa kami memiliki banyak uang yang dapat kami bagikan, karena itu seringkali kami
menjadi tempat masyarakat meminta dana, karena kadang kami menjadi tempat
sandaran orang disaat mereka membutuhkan bantuan, kadang kami merasa aneh,
marah dan bingung, karena dewan adat bukan dibentuk oleh sebuah perusahaan
untuk menjalankan misinya sehingga ditunjang dengan sejumlah dana untuk
melakukan tanggung jawab social perusahaannya. Seperti yang dilakukan oleh PTFI
terhadap LPMAK di Timika.
Kadangkala
saya didatangi masyarakat dari kampung-kampung dengan berbagai keperluan dana,
mereka menghormati kami dengan sungguh namun pada akhirnya mereka mengungkapkan
kebutuhannya, kadang dalam hati saya marah namun jika ada pasti saya bantu
sebisa saya, maklum kerja tanpa gaji.
Dewan Adat Paniai tidak makan uang dari
degeuwo
Jika
dalam kesendirian saya kadang saya berfikir mengapa masyarakat menganggap dewan
adat adalah CSR, tetapi saya biasa juga disadarkan juga adanya pandangan miring
kepada saya tentang kegiatan pendulangan emas di sungai degeuwo, saya harus
menanggung fitnahan orang bahwa “John Gobai,banyak makan uang degeuwo” aneh
juga karena hal itu dikatakan oleh oknum pejabat, untuk menutupi
ketidakmampuannya mengurus kegiatan ini untuk dijadikan sebagai sumber
pendapatan asli daerah (PAD).
Perlu
diketahui bahwa yang melepaskan tanah degeuwo dan mengundang pengusaha ke
degeuwo adalah masyarakat degeuwo sendiri, oknum tertentu masyarakat bugalaga,
bogobaida dan agadide serta siriwo, mereka juga mendapat pembayaran dari para
pengusaha, selanjutnya pada masa-masa awal sejumlah oknum masyarakat juga tampil
sebagai keamanan dan pengurus tambang dengan nama TPPE (Tim Pengelola
Pendulangan Emas), awalnya mereka diduga mendapat dana dan emas. Akibatnya satu
contoh pernah terjadi konflik antara; Tebai dan Kayame. Sebetulnya saya perlu
menyebut nama-nama keamanan dan pengurus TPPE namun rasanya tidak etis, biarlah
kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
Saya
menjadi dewan adat dalam situasi lokasi dengan sudah dibuka, sebagian tanah
sudah dilepaskan oleh pemilik hak ulayat
dengan harga yang bervariasi mulai dari Rp.100.000.000 – Rp.1.000.000.000,- dan
system pembayaran yang bervariasi juga ada yang tunai ada juga yang cicil.
Dalam usahanya ada pendulang yang membayar lokasi ada yang untung namun ada
juga yang rugi lalu gulung tikar alias merugi, ada juga yang bertahan namun
utang kepada pemodal lainnya.
Perlu
diketahui Dewan adat tidak pernah melepaskan tanah degeuwo sehingga mendapatkan
sejumlah dana, yang melepaskan tanah adalah pemilik hak ulayat sendiri,
sehingga mereka jugalah yang mendapatkan dananya, mereka jugalah yang mendapat
sedikit bantuan dari pedagang dan pendulang, dilokasi juga ada kepala suku
local yang biasanya menjaga keamanan kampung, menyelesaikan masalah di lokasi
pendulangan, biasanya juga mendapatkan dana bulanan dari para pendulang, pedagang
dan pengusaha serta jika pihak kepolisian atau brimob membuka pos atau
menempatkan anggotanya maka, dana untuk makan setiap minggu, dana pengamanan
setiap minggu serta dana bulanan diberikan oleh pedagang dan pengusaha di
degeuwo, sejak dibentuknnya Asosiasi
Pengusaha Penambang Emas (APPE) dan Konsorsium Pengusaha Emas Nabire dan Paniai (KPENP)
di nabire pada tahun 2011, atas kesepakatan pihak pengusaha dan organisasi,
yang idealnya oleh pengusaha ingin diberikan kepada masyarakat asli sebagai bentuk
tanggung jawab sosial pengusaha kepada masyarakat. Pengusaha juga memberikan
dana dari penjualan BBM kepada APPE dan perhitungan tiap penumpang yang terbang
ke degeuwo di kenakan biaya perkepala untuk menjadi pemasukan bagi KPENP,
sehingga kedua organisasi ini diharapkan dapat melakukan tugas CSR kepada
masyarakat.
Pengusaha
di degeuwo diduga kadang juga memberikan bantuan insidentil kepada oknum POLRES
Nabire dan Paniai, hal itu kadang terungkap dalam diskusi lepas dengan
pengusaha maupun dengan anggota kepolisian, hal lain juga dapat dilihat adalah
dalam beberapa tahun sejak 2007-2012 penjualan BBM ke pendulangan dimonopoli
oleh usaha CV.Gunung Kelud milik istri seorang anggota Polsek Bandara Nabire,
saat itu setiap pengusaha wajib mengambil BBM di GK dan harganya sengaja
dinaikkan dengan alasan untuk bos-bos (Perwira di POLRES Nabire).
Namun
kami juga tidak dapat pungkiri kami kadang juga mendapat bantuan dana dari
pengusaha asal papua maupun non papua tetapi bukan rutin seperti masyarakat,
oknum anggota kepolisian, APPE dan KPENP, tetapi yang perlu kami tegaskan
adalah kami tidak makan uang dari degeuwo ratusan atau milyaran rupiah seperti
yang dipikirkan banyak orang.
Dewan Adat bukan SKPD
Dalam
pergaulan dengan sejumlah pejabat pemerintah, DPRD dan masyarakat lain kadang
kala terungkap kata-kata “Pak Dewan, bagi uang sudah, kawan ko bagi uang kah,
bupati kasih ko uang banyak to” kata-kata ini kadang membuat saya sakit hati,
kata-kata ini pula telah membuat pandangan yang keliru dalam masyarakat, karena
diucapkan oleh orang mengerti dan pejabat, seakan-akan kami mempunyai dana yang
banyak mengandung makna seakan-akan kami mempunyai dana yang besar yang sedang
kami gelapkan, kata-kata ini menggambarkan seakan-akan dewan adat sama dengan
Kantor pemerintah,yang wajib diperhitungkan dalam APBD, tidak ada daerah di
Papua yang telah membuat perda tentang dewan adat sehingga ada dana khusus
dalam APBD yang dialokasikan bagi dewan adat, dana ada hanya karena pendekatan
dan kebaikan hati bupati, bukan karena sebuah pengakuan secara yuridis.
Pandangan
yang keliru terhadap dewan adat ini perlu dihilangkan dalam benak orang papua,
namun yang penting membuat agar dewan adat eksis dengan meyakinkan pemerintah
agar memberikan dana yang cukup bagi Dewan Adat, agar dapat melaksanakan
agendanya dalam memberikan dukungan bagi pembangunan.