Senin, 26 Mei 2014

SUKA DUKA SEORANG PIMPINAN DEWAN ADAT






Dewan Adat dalam dua sudut pandang
Dahulu dalam budaya, dikenal sebutan Tonowi, Raja, Sonowi, Menagawan, mananwir, ondoafi dan sebutan lainnya, Mereka terseleksi oleh alam karena kehebatan dan kelebihan mereka, maka individu-individu tertentu disebut Tonowi,dan sebagainya. Kelompok ini dahulu digunakan oleh pemerintah belanda dan gereja untuk untuk menyebarkan agama dan membuka pos pemerintahan, dan kelompok-kelompok ini ada yang diangkat sebagai penasehat pemerintah ada juga yang diangkat sebagai pemerintah kampung, kini kelompok-kelompok ini ada namun peranannya mulai tersingkir, sebagian peranannya diambil alih dengan munculnya organisasi masyarakat modern seperti; DPMA, Dewan Adat serta LMA, munculnya organisasi ini juga kadangkala menunculkan konflik antara pimpinan adat tradisional dengan modern, namun jika pimpinan organisasi modern jika dapat merangkul pimpinan adat tradisional maka, konflik dapat diatasi, namun jika pimpinan adat modern tidak dapat merangkul maka konflik akan berkepanjangan, lebih parah lagi jika ditunggangi oleh kepentingan tertentu.
Selama ini ada stigma bahwa LMA atau DAP pendukung “Gerakan Aspirasi Merdeka“  stigma yang keliru ini dan kesalahan memahami bahwa LMA atau DAP sebagai lembaga politik, adalah sesuatu yang keliru jika merujuk kepada Statuta Dewan Adat Papua, hal itu sama sekali tidak diatur yang ada adalah DAP adalah pejuang Hak Masyarakat atas budaya, SDA, tanah dan hak hidup, bukan yang lain-lain, stigma ini juga mungkin muncul karena sikab, statmen petinggi DAP yang selama ini disampaikan dalam berbagai kesempatan, yang sebenarnya  sesuai dengan statuta DAP dan deklarasi HAM PBB, namun hal deklarasi PBB itu belum diratifikasi oleh pemerintah NKRI, sehingga menjadi sebuah tantangan bagi Negara. sebagai sebuah organisasi adat modern DAP/LMA karena ada yang dibentuk oleh masyarakat saat sedang ramainya aspirasi merdeka seperti DAP sehingga DAP dipandang sebagai bentukan PDP dan  ada juga LMA ada yang dibentuk difasilitasi oleh Biro Pemerintahan Kampung Setda Prov Papua ada juga didorong oleh pemerintah, maka sikab saling curiga, egois, angkuh, menang sendiri selalu mewarnai perjalanan organisasi ini, dan ini jugalah yang selama ini membingungkan rakyat serta pemerintah salah kaprah dalam menyikapi kedua organisasi masyarakat adat yang modern ini.
Disatu sisi, jika pengurus Dewan Adat dekat dengan pemerintah maka kami disebut alatnya pemerintah, pesuruhnya pemerintah. Ini yang saya maksudkan ada dua sudut pandang terhadap Dewan Adat.
Kedua pandangan ini jelas keliru yang benar selama ini tidak pernah ada koordinasi, komunikasi antara pemerintah dan Dewan Adat untuk membatasi peranan-peran kedua lembaga. Kewenangan adat dan kewenangan pemerintah tidak perlu campur aduk. Apa yang menjadi hak dan kewenangan pemerintah kembalikan kepada Pemerintah lalu apa yang menjadi hak dan kewenangan adat itulah yang diurus oleh Adat. Dewan Adat sebagai mitra kerja pemerintah untuk membangun masyarakat bukan sebagai tempat belajar berpolitik. Oleh karena DAP muncul dalam situasi politik papua saat itu, dimana aspirasi merdeka sedang memanas, karena itu Dewan Adat mendapat stigma sarana untuk memperjuangkan kemerdekaan ‘M’ padahal Dewan Adat adalah Emawa, Pilamo, Isorei, Nduni, Aidoram, Tongoi, tempat dimana membicarakan dan memperjuangkan, bergumul aneka hal dengan masyarakat adat. Karena itu mestinya Dewan Adat dipahami sebagi rumah, bukan tempat berpolitik yang menjadi momok bagi pemerintah dan juga perlu dipahami baik juga oleh pengurus DAP/LMA bukanya hidup dalam sebuah suasana egois, angkuh dan lain-lain, Adat tidak mengajarkan saling curiga, egois, angkuh dan sombong yang ada adalah rendah hati, terbuka, hargai, nilai kebenaran, sehingga perlu dipahami bahwa Dewan Adat berfungsi sebagai Rumah bagi siapa saja mengolah berbagai persoalan dalam  masyarakat Adat. Hal ini biarlah rakyat yang memberikan penilaian atas lembaga ini, atas dasar pikiran dan perasaannya, sehingga perlu ruang dan waktu akan menemukan jawaban murni atas persoalan ini.

Dewan Adat bukan lembaga pelaksana CSR
Dalam menjalankan tugas sebagai dewan adat, kadangkala ada pandangan dari masyarakat bahwa kami memiliki banyak uang yang dapat kami bagikan, karena itu seringkali kami menjadi tempat masyarakat meminta dana, karena kadang kami menjadi tempat sandaran orang disaat mereka membutuhkan bantuan, kadang kami merasa aneh, marah dan bingung, karena dewan adat bukan dibentuk oleh sebuah perusahaan untuk menjalankan misinya sehingga ditunjang dengan sejumlah dana untuk melakukan tanggung jawab social perusahaannya. Seperti yang dilakukan oleh PTFI terhadap LPMAK di Timika.
Kadangkala saya didatangi masyarakat dari kampung-kampung dengan berbagai keperluan dana, mereka menghormati kami dengan sungguh namun pada akhirnya mereka mengungkapkan kebutuhannya, kadang dalam hati saya marah namun jika ada pasti saya bantu sebisa saya, maklum kerja tanpa gaji.

Dewan Adat Paniai tidak makan uang dari degeuwo
Jika dalam kesendirian saya kadang saya berfikir mengapa masyarakat menganggap dewan adat adalah CSR, tetapi saya biasa juga disadarkan juga adanya pandangan miring kepada saya tentang kegiatan pendulangan emas di sungai degeuwo, saya harus menanggung fitnahan orang bahwa “John Gobai,banyak makan uang degeuwo” aneh juga karena hal itu dikatakan oleh oknum pejabat, untuk menutupi ketidakmampuannya mengurus kegiatan ini untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD).
Perlu diketahui bahwa yang melepaskan tanah degeuwo dan mengundang pengusaha ke degeuwo adalah masyarakat degeuwo sendiri, oknum tertentu masyarakat bugalaga, bogobaida dan agadide serta siriwo, mereka juga mendapat pembayaran dari para pengusaha, selanjutnya pada masa-masa awal sejumlah oknum masyarakat juga tampil sebagai keamanan dan pengurus tambang dengan nama TPPE (Tim Pengelola Pendulangan Emas), awalnya mereka diduga mendapat dana dan emas. Akibatnya satu contoh pernah terjadi konflik antara; Tebai dan Kayame. Sebetulnya saya perlu menyebut nama-nama keamanan dan pengurus TPPE namun rasanya tidak etis, biarlah kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
Saya menjadi dewan adat dalam situasi lokasi dengan sudah dibuka, sebagian tanah sudah dilepaskan  oleh pemilik hak ulayat dengan harga yang bervariasi mulai dari Rp.100.000.000 – Rp.1.000.000.000,- dan system pembayaran yang bervariasi juga ada yang tunai ada juga yang cicil. Dalam usahanya ada pendulang yang membayar lokasi ada yang untung namun ada juga yang rugi lalu gulung tikar alias merugi, ada juga yang bertahan namun utang kepada pemodal lainnya.
Perlu diketahui Dewan adat tidak pernah melepaskan tanah degeuwo sehingga mendapatkan sejumlah dana, yang melepaskan tanah adalah pemilik hak ulayat sendiri, sehingga mereka jugalah yang mendapatkan dananya, mereka jugalah yang mendapat sedikit bantuan dari pedagang dan pendulang, dilokasi juga ada kepala suku local yang biasanya menjaga keamanan kampung, menyelesaikan masalah di lokasi pendulangan, biasanya juga mendapatkan dana bulanan dari para pendulang, pedagang dan pengusaha serta jika pihak kepolisian atau brimob membuka pos atau menempatkan anggotanya maka, dana untuk makan setiap minggu, dana pengamanan setiap minggu serta dana bulanan diberikan oleh pedagang dan pengusaha di degeuwo, sejak dibentuknnya  Asosiasi Pengusaha Penambang Emas (APPE) dan  Konsorsium Pengusaha Emas Nabire dan Paniai (KPENP) di nabire pada tahun 2011, atas kesepakatan pihak pengusaha dan organisasi, yang idealnya oleh pengusaha ingin diberikan kepada masyarakat asli sebagai bentuk tanggung jawab sosial pengusaha kepada masyarakat. Pengusaha juga memberikan dana dari penjualan BBM kepada APPE dan perhitungan tiap penumpang yang terbang ke degeuwo di kenakan biaya perkepala untuk menjadi pemasukan bagi KPENP, sehingga kedua organisasi ini diharapkan dapat melakukan tugas CSR kepada masyarakat.
Pengusaha di degeuwo diduga kadang juga memberikan bantuan insidentil kepada oknum POLRES Nabire dan Paniai, hal itu kadang terungkap dalam diskusi lepas dengan pengusaha maupun dengan anggota kepolisian, hal lain juga dapat dilihat adalah dalam beberapa tahun sejak 2007-2012 penjualan BBM ke pendulangan dimonopoli oleh usaha CV.Gunung Kelud milik istri seorang anggota Polsek Bandara Nabire, saat itu setiap pengusaha wajib mengambil BBM di GK dan harganya sengaja dinaikkan dengan alasan untuk bos-bos (Perwira di POLRES Nabire).
Namun kami juga tidak dapat pungkiri kami kadang juga mendapat bantuan dana dari pengusaha asal papua maupun non papua tetapi bukan rutin seperti masyarakat, oknum anggota kepolisian, APPE dan KPENP, tetapi yang perlu kami tegaskan adalah kami tidak makan uang dari degeuwo ratusan atau milyaran rupiah seperti yang dipikirkan banyak orang.

Dewan Adat bukan SKPD
Dalam pergaulan dengan sejumlah pejabat pemerintah, DPRD dan masyarakat lain kadang kala terungkap kata-kata “Pak Dewan, bagi uang sudah, kawan ko bagi uang kah, bupati kasih ko uang banyak to” kata-kata ini kadang membuat saya sakit hati, kata-kata ini pula telah membuat pandangan yang keliru dalam masyarakat, karena diucapkan oleh orang mengerti dan pejabat, seakan-akan kami mempunyai dana yang banyak mengandung makna seakan-akan kami mempunyai dana yang besar yang sedang kami gelapkan, kata-kata ini menggambarkan seakan-akan dewan adat sama dengan Kantor pemerintah,yang wajib diperhitungkan dalam APBD, tidak ada daerah di Papua yang telah membuat perda tentang dewan adat sehingga ada dana khusus dalam APBD yang dialokasikan bagi dewan adat, dana ada hanya karena pendekatan dan kebaikan hati bupati, bukan karena sebuah pengakuan secara yuridis.
Pandangan yang keliru terhadap dewan adat ini perlu dihilangkan dalam benak orang papua, namun yang penting membuat agar dewan adat eksis dengan meyakinkan pemerintah agar memberikan dana yang cukup bagi Dewan Adat, agar dapat melaksanakan agendanya dalam memberikan dukungan bagi pembangunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar