DARI DPRD PAPUA
MENJADI DPRP
(Konsep Ideal Badan
Legislatif Papua)
OLEH
JOHN NR GOBAI
KETUA DEWAN ADAT DAERAH
PANIYAI/
SEKRETARIS II DEWAN ADAT
PAPUA
Pengantar
Jika kita jujur DPRP yang ada saat ini,
sesungguhnya adalah DPRD Papua, karena sesuai dengan Pasal 6 UU No 21 Tahun
2001, DPRP terdiri dari anggota yang
dipilih dan diangkat, yang diangkat bukan dari partai politik, tetapi kenyataan
kursi itu di ambil oleh partai politik, dengan kata lain Kursi OAP baju Partai,
sehingga DPRP bisa disebut DPRP jika terdiri dari dua kelompok anggota yaitu
anggota yang dipilih dan diangkat, karena itu tulisan ini saya beri judul Dari
DPRD Papua Menjadi DPRP
Rujukan14 Kursi DPRP
Putusan MKRI pada tahun 2010 memutuskan
memerintahkann dibuatnya PERDASUS tentang pengisian 11 (sebelas) kursi
keanggotaan DPRP yang diangkat, saat itu diperintahkan maka Gubernur Provinsi
Papua bersama Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua perlu segera membuat
Peraturan Daerah Khusus tentang tata cara pengisian anggota DPRP yang di
dalamnya memuat, antara lain, ketentuan tentang penambahan 11 (sebelas) anggota
DPRP yang diangkat dan berlaku satu kali (einmalig) untuk Periode
2009-2014. Sehingga sebenarnya bisa dilakukan pada masa lalu sehingga anggta
DPRP jumlahnya adalah 67 Orang, namun hal itu tidak dilakukan, dengan alasan
yang tidak jelas. Untuk periode berikutnya (2014-2019) harus dikembalikan pada
ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan ayat (4) UU 21/2001, yaitu dipilih melalui
pemilihan umum dan dengan cara diangkat yang tata cara pengangkatannya diatur
dengan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus);
Manuver LUKMEN adalah manuver Pimpinan Pemerintahan
Papua bukan manuver Ketua Partai Demokrat Papua dan Ketua Partai Golkar Papua,
Manuver ini adalah manuver Gubernur
Papua sebagai salahsatu Nahkoda Utama Kapal yang namanya UU OTSUS sebuah kunci
utama adalah adanya Raperdasus DPRP yang ditetapkan melalui mekanisme
Pengangkatan, manuver ini juga adalah bentuk kesungguhan seorang anak adat/
anak asli papua untuk memberikan ruang bagi orang asli papua dalam rumah
politik legislative NKRI, terobosan ini bukti komitmen LUKMEN untuk
melaksanakan OTSUS sebagai sebuah regulasi yang perlu ditegakkan pelaksanaannya
dalam bingkai NKRI, terobosan ini merupakan cara LUKMEN memberikan kesempatan
kepada Orang Asli Papua agar secara maksimal membicarakan kepentingan Orang
Asli Papua di panggung politik NKRI.
14 Kursi DPRP Bukan Kursi
Pelarian
Saya berharap agar ini bukan kursi pelarian,
sehingga yang berhak duduk dalam kursi 14 adalah orang yang bukan menjadi
anggota partai politik tertentu atau pernah menjadi Calon Legislatif Pemilu
2014, karena jika ini jadi pelarian maka, gambarannya akan sama saja seperti 11
kursi yang ada sekarang yaitu ada 14 kursi OAP yang diduduki oleh pengurus
partai politik nasional, dengan kalimat sederhana Kursi OAP, Baju Partai
Di Papua sampai saat ini penetapan perdasus pun
belum dilakukan sehingga dingatkan agar 14 kursi tidak dijadikan pelarian oleh
caleg yang gagal dalam pemilu legislative 2014 ini, hal itu diingatkan oleh
Wakil Ketua FKMAPB/ Ketua Dewan Adat Paniai, John Gobai “ Jika pelaksanaan
pemilihan 14 kursi tidak bersamaan dengan Pileg 9 April mendatang maka
ditakutkan kursi tersebut menjadi peluang pelarian bagi mereka yang tidak lolos
dalam pemilihan kursi legislative pada 9 april itu, jangan sampai kejadian pada
pileg tahun lalu kembali lagi terulang lagi dimana 11 kursi digunakan untuk
mereka yang gagal lolos menjadi anggota legislative artinya orang parpol yang
masuk dalam 11 kursi tersebut, (Cepos, 5 Maret 2014)
Raperdasus yang menjadi hak inisiatif DPRP mestinya
di bahas kembali dengan OAP karena secara implicit hanya untuk kepentingan
pelarian bagi caleg yang berasal dari parpol, sehingga substansi dari UU Otsus
tidak akan menjadi kenyataan. Sehingga tidak akan ada perbedaan antara semua
kursi yang ada di DPRP, dengan kalimat sederhana Kursi OAP, Baju Partai, hal itu sangat terlihat dalam raperdasus
tentang DPRP yang ditetapkan melalui mekanisme pengangkatan, dalam pasal 34 huruf huruf j; memiliki komitmen memperjuangkan hak
dan kepentingan Orang Asli Papua ( persyaratan yang sangat tidak jelas yang
mengkebiri orang lain yang mempunyai pengalaman yang benar bukan memiliki
komitmen tetapi memiliki pengalaman selama 5 tahun memperjuangkan atau
mendampingi perjauangan hak atau kepentingan OAP. o,yaitu calon harus memiliki
pengalaman politik, Pasal 35 Hurf L; Calon harus melampirkan surat keterangan
partai atau organisasi politik resmi lainnya. ( Hal ini sangat jelas peluang
pelarian bagi calon yang kalah dalam Pileg 2014 untuk menggunakan kursi OAP,
sehingga DPRP dan Pemprov secara sistematis melakukan pelanggaran atas
konstitusi, sehingga sebaiknya dilakukan perubahan atas raperdasus tersebut
jika tidak gubernur mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub)
Penutup
Raperdasus
14 Kursi merupakan suatu keharusan sebagai bentuk Kekhususandalam kerangka,
sehingga jangan dipandang dengan pandangan yang miring dll.
Dalam
catatan penutup ini saya ingin mengemukakan sebuah gagasan yang perlu
dipikirkan semua pihak di Papua, kenyataan di Papua saat ini jumlah kaum migran
lebih besar daripada orang asli papua, kenyataan ini perlu di pikirkan secara
baik, perlu ada langkah yang tepat, perlu ada kemauan politik untuk melakukan
proteksi kepada orang asli, hal ini akan mempengaruhi keputusan politik yang
tidak berpihak kepada orang asli. Hal ini Nampak dalam pemilu legislative
didaerah yang terbuka seperti Kota Jayapura, Biak, Nabire, Timika,,dll jumlah
orang asli akan berkurang, karena itu suku-suku asli akan tersingkir karena itu
perlu ada kebijkan pengangkatan legislative bagi suku-suku asli dalam badan
legislatif daerah, agar mereka dapat memproteksi kekayaannya melalui keputusan
politik daerah. Contoh: Suku Yerisiam di Nabire, Nafri di Kota Jayapura, Suku
Komoro dan Amungme di Timika,dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar