Minggu, 27 April 2014

PILKADA DAN ADAT





PENGARUH NILAI-NILAI ADAT DALAM PILKADA DI PAPUA
                                  Oleh
                      JOHN NR GOBAI
               Ketua Dewan Adat Daerah Paniyai/Sekretaris I Dewan Adat Papua


PENGANTAR                                                                                                                                              Beberapa bulan belakangan ini daerah pegunungan diramaikan dengan dengan adanya pesta PILKADA, banyak hal telah dan akan terjadi, kita bersama telah ketahui bahwa actor-aktor penting sebelum pesta pilkada adalah Partai Politik karena menentukan apakah seorang kandidat dapat mengikuti pesta PILKADA ataukah tidak, dalam istilah sehari-hari mereka yang ikut menyiapkan Perahu bagi seorang Calon Kandidat, apakah layak atau tidak, apakah memenuhi syarat prosentase lebih dari 15%, untuk dapat menjadi Calon Kepala Daerah atau kah tidak. Setelah itu barulah masyarakat yang akan memberikan suara.
              Didaerah Pegunungan Papua, Pilkada merupakan pesta yang selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat, agar mereka dapat mengekspresikan kesenangannya dengan yuu, waita, menggunakan pakaian adat, koteka dan moge, membawa uka dan mapega. Dari kasat mata dapat diduga dari satu sisi, hal ini dilakukan dengan dasar pikiran yang lebih ke adat, karena semata-mata dilakukan karena mempunyai hubungan kekerabatan, karena berasal dari satu marga, daerah dan karena ikatan adat lainnya, seperti calon itu, pernah bantu saat dia menjadi kepala SKPD, pernah membantu menyelesaikan masalah, membantu taruh maskawin, tanpa melihat kemampuan orang, kinerjanya selama menjabat sebelum menjadi calon kepala daerah. Diduga  Pilkada diwarnai dengan  Nilai-nilai adat.

PARTAI POLITIK
Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, Pengantar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2000, hal. 163-164., meliputi sarana (i) sarana komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii) sarana rekruitmen politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (conflict management).  Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp fungsi partai politik itu mencakup fungsi (i) mobilisasi dan integrasi, (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns); (iii) sarana rekruitmen politik; dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan;
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan yang lainnya. Sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interests articulation) atau “political interests” yang terdapat atau kadang-kadang yang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide-ide, visi dan kebijakan-kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah itu, ide-ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atau bahkan menjadi materi kebijakan kenegaraan yang resmi.
Terkait dengan komunikasi politik itu, partai politik juga berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik (political socialization). Ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan ‘feedback’ berupa dukungan dari masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partai lah yang menjadi struktur-antara atau ‘intermediate structure’ yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara.
Misalnya, dalam rangka keperluan memasyarakatkan kesadaran negara berkonstitusi, partai dapat memainkan peran yang penting. Tentu, pentingnya peran partai politik dalam hal ini, tidak boleh diartikan bahwa hanya partai politik saja yang mempunyai tanggungjawab eksklusif untuk memasyarakatkan UUD. Semua kalangan, dan bahkan para pemimpin politik yang duduk di dalam jabatan-jabatan publik, khususnya pimpinan pemerintahan eksekutif mempunyai tanggungjawab yang sama untuk itu. Yang hendak ditekankan disini adalah bahwa peranan partai politik dalam rangka pendidikan politik dan sosialisasi politik itu sangat lah besar.
Fungsi ketiga partai politik adalah sarana rekruitmen politik (political recruitment). Partai dibentuk memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. Kader-kader itu ada yang dipilih secara langsung oleh rakyat, ada pula yang dipilih melalui cara yang tidak langsung, seperti oleh Dewan Perwakilan Rakyat, ataupun melalui cara-cara yang tidak langsung lainnya.
Tentu tidak semua jabatan yang dapat diisi oleh peranan partai politik sebagai sarana rekruitmen politik. Jabatan-jabatan profesional di bidang-bidang kepegawai-negerian, dan lain-lain yang tidak bersifat politik (poticial appointment), tidak boleh melibatkan peran partai politik. Partai hanya boleh terlibat dalam pengisian jabatan-jabatan yang bersifat politik dan karena itu memerlukan pengangkatan pejabatnya melalui prosedur politik pula (political appointment).
Untuk menghindarkan terjadinya percampuradukan, perlu dimengerti benar perbedaan antara jabatan-jabatan yang bersifat politik itu dengan jabatan-jabatan yang bersifat teknis-administratif dan profesional. Di lingkungan kementerian, hanya ada 1 jabatan saja yang bersifat politik, yaitu Menteri. Sedangkan para pembantu Menteri di lingkungan instansi yang dipimpinnya adalah pegawai negeri sipil yang tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang kepegawaian.
Jabatan dibedakan antara jabatan negara dan jabatan pegawai negeri. Yang menduduki jabatan negara disebut sebagai pejabat negara. Seharusnya, supaya sederhana, yang menduduki jabatan pegawai negeri disebut pejabat negeri. Dalam jabatan negeri atau jabatan pegawai negeri, khususnya pegawai negeri sipil, dikenal adanya dua jenis jabatan, yaitu jabatan struktural dan jabatan fungsional.
Jenjang jabatan itu masing-masing telah ditentukan dengan sangat jelas hirarkinya dalam rangka penjenjangan karir. Misalnya, jenjang jabatan struktural tersusun dalam mulai dari eselon  4, 3, 2, sampai ke eselon 1. Untuk jabatan fungsional, jenjang jabatannya ditentukan berdasarkan sifat pekerjaan di masing-masing unit kerja. Misalnya, untuk dosen di perguruan tinggi yang paling tinggi adalah guru besar. Jenjang di bawahnya adalah guru besar madya, lektor kepala, lektor kepala madya, lektor, lektor madya, lektor muda, dan asisten ahli, asisten ahli madya, asisten. Di bidang-bidang lain, baik jenjang maupun nomenklatur yang dipakai berbeda-beda tergantung bidang pekerjaannya.
Untuk pengisian jabatan atau rekruitmen pejabat negara/kenegaraan, baik langsung ataupun tidak langsung, partai politik dapat berperan. Dalam hal ini lah, fungsi partai politik dalam rangka rekruitmen politik (political recruitment) dianggap penting. Sedangkan untuk pengisian jabatan negeri seperti tersebut di atas, partai sudah seharusnya dilarang untuk terlibat dan melibatkan diri.
Fungsi keempat adalah pengatur dan pengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat (conflict management). Seperti sudah disebut di atas, nilai-nilai (values) dan kepentingan-kepentingan (interests) yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang menawarkan ideologi, program, dan altrernatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain.
Dengan perkataan lain, sebagai pengatur atau pengelola konflik (conflict management) partai berperan sebagai sarana agregasi kepentingan (aggregation of interests) yang menyalurkan ragam kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan politik partai. Karena itu, dalam kategori Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi pengeloa konflik dapat dikaitkan dengan fungsi integrasi partai politik. Partai mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan cara menyalurkannya dengan sebaik-baiknya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik kenegaraan.

PILKADA DALAM ADAT
Dalam kehidupan lalu masyarakat mempunyai pemimpin yang dikenal dengan nama Tonowi atau Sonowi, mereka muncul orang yang menduduki strata sosial paling atas itu biasanya disebut sebagai pemimpin. Mereka memperoleh status Tonowi (dalam Suku Mee), Sonowi (dalam Suku Moni), Disebut Tonowi,Sonowi karena memiliki kekayaan yang berlimpah dan relasi sosial yang dibangun juga cukup luas. Kemudian seseorang disebut Tonowi atau Sonowi, bukan karena hanya memiliki kekayaan namun yang lebih penting juga adalah bijaksana dalam memutuskan perkara. Misalnya pengambilan keputusan atas persoalan anak kandungnya, apabila ia membela matian-matian  anaknya  telah terbukti bersalah berarti ia bukan Tonowi atau Sonowi Jadi pengambilan keputusan tertinggi berada pada seorang pemimpin yang bijaksana dalam menilai persoalan. Seorang Tonowi atau Sonowi itu adalah seorang yang mampu membedakan antara yang baik dan buruk,  bernilai dan tidak bernilai, yang menguntungkan dan mana yang merugikan. Itu figur pemimpin dalam konsep berpikirnya orang wolani, mee dan moni. Jadi dia Tonowi dan Sonowi dalam harta, berfikir, bersikap, dan berbicara. Salah satu mimpinya orang mee, moni dan wolani adalah  menjadi Tonowi dan Sonowi baik secara lahiriah maupun rohaniah. Dan Tonowi-Tonowi dan Sonowi inilah yang biasanya menyelesaikan persoalan termasuk konflik sosial yang timbul di kalangan mee, moni dan wolani  sendiri maupun ketika berhadapan dengan orang yang berasal dari lain suku, termasuk para kaum pendatang. Bilamana dalam kehidupan orang moni, mee dan wolani itu terjadi bentrok misalnya disebabkan oleh  masalah utang piutang, kesalahpahaman, kekeluargaan, perempuan, kekayaan, dan sebagainya akan diselesaikan oleh orang yang dituakan yaitu orang yang dapat berpikir secara baik.  Di setiap kampung, marga, dan komunitas selalu ada  orang yang dituakan dengan ciri seperti itu.
Dalam pelaksanaan  hidup bernegara disebuah kabupaten, parpol biasanya  hanya menjadi sarana rekruitmen politik, untuk menentukan dan mengantar atau dengan kata yang sederhana menjadi perahu bagi para calon kepala daerah, sebuah daerah akan ramai dengan bendera PARPOL hanya saat PEMILU Legislatif dan PILGUB serta PILBUP, padahal sesungguhnya parpol sebenarnya juga harus memainkan fungsinya terlebih-lebih adalah, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat serta menjadi sarana perubahan kebijakan Negara didaerah melalui wakilnya di parlemen. Para kandidat juga kadangkala memerlukan parpol hanya saat menyongsong PILKADA, setelah itu mereka sudah tidak ada hubungan, mungkin disebabkan karena adanya politik dagang partai, sehingga para cabup merasa telah membayar dengan uang kepada mungkin hanya kepada Ketua dan sekretaris atau kepada Ketua saja atau sekretaris saja, dengan koordinasi atau tanpa koordinasi dengan pengurus sehingga tidak ada hutang lagi, yang perlu dibayar lagi kepada para pengurus partai, lalu pertanyaannya, Bagaimana dengan masyarakat yang memberikan suara saat PILEG? sehingga partai bisa mempunyai suara dan kursi di Parlemen sehingga bisa menjadi perahu untuk Calon Kepala Daerah.
PILKADA dilaksanakan bukan mau memilih “tonowi-tonowi baru” yang menimbun kekayaan sebanyak-banyaknya, melalui cara-cara yang tidak terpuji, yang hanya membuat program kepada masyarakat tidak jalan secara maksimal.
 PILKADA dilaksanakan untuk memilih pemimpin yang mau bekerja untuk Paniai, Dogiyai, Deiyai dan Intan Jaya, hal yang penting dilakukan adalah pendidikan politik kepada masyarakat bukan dengan model “Jual Beli” hal ini hanya akan membuat masyarakat kita menjadi masyarakat pemalas yang hanya hidup menggantungkan diri pada orang lain, pada situasi politik serta pada kebijakan-kebijakan pemerintah.
Dalam PILKADA ini masyarakat haruslah memilih tonowi/sonowi yang benar-benar tonowi, tonowi yang sungguh-sungguh bekerja sesuai dengan aturan ada, tonowi mengutamakan kepentingan umum, tonowi yang tidak melakukan nepotisme, tonowi selalu berbicara yang baik bukan memfitnah orang, tonowi yang selalu berfikir yang terbaik untuk banyak orang, tonowi yang bekerja bukan untuk mengejar pujian, tonowi yang siap bekerja keras bukan hanya berbicara banyak.

PENUTUP
Pilkada adalah pesta untuk memilih pemimpin daerah yang bekerja untuk rakyat, Pilkada adalah sebuah permainan yang hanya akan menghasilkan seorang pemenang, Pilkada diikuti orang-orang yang mampu, orang-orang sudah berpendidikan sehingga sangat diharapkan agar dapat memberikan pendidikan politik bersama PARPOL kepada masyarakat, siapapun dia yang terpilih adalah orang yang sudah dipilih oleh Tuhan dan Alam, jangan diperdebatkan, jangan saling membenci, jangan saling berperang.
Akhirnya dalam adat ada nilai-nilai adat yang baik yaitu saling menghargai (Maa akatee), dalam adat di tiap kampung ada Pemimpin yaitu Tonowi/Sonowi yang lahir dan tumbuh karena prestasi hidupnya yang sungguh-sungguh, dengan strategi hidupnya yang baik bukan dengan tipu-tipu (Puyamana/kigimana), bukan dengan fitnah (Mee ewegai), bukan dengan mencuri (Omaa), bukan dengan mengambil haknya orang kecil (rakyat) (dababageka agiyo yamoti).
 Jabatan Bupati bukan warisan atau Iyoweta seperti Maskawin, babi (ekina epawa), sehingga tidak boleh ada kandidat dan masa pendukungnya,memaksakan kehendaknya, dengan aksi yang berlebihan tetapi mari kami bersama mengikuti PILKADA dengan adat yang benar benar adat, bukan adat yang dibuat-buat seperti; berperang, saling berkelahi, memfitnah, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar